welcome..

welcome to feby's blog.. ^^
BEM-ITS

Kamis, 04 November 2010

Kisah Duka Anak-anak Jenius

BEM-ITS">

BAGAIMANA bayangan Anda terhadap anak-anak jenius? Apakah Anda membayangkan bahwa anak-anak ini adalah anak penyandang gen perfek berotak encer, gemerlap, dan selalu mendapat medali? Ternyata masa kecil mereka penuh dengan rasa sedih, duka, dan lara. Semuanya karena apa yang mereka hadirkan baik dari segi perilaku dan kemampuan meraih prestasi di sekolah justru jauh di bawah rata-rata anak normal. Mereka seringkali brutal, keras kepala, semaunya, sulit diatur, dan sering berkelahi. Prestasi di sekolah juga nol. Sebagian besar anak-anak ini justru tidak survive, banyak dari mereka yang dilatar belakangi oleh ketidak harmonisan rumah tangga, dan tekanan dari pihak sekolah justru membuat mereka melarikan diri ke arah kenakalan remaja, depresi, stres, atau mengalami gangguan biologis karena masalah psikologis (psikosomatis).
Mengapa demikian? Itu semua karena anak-anak ini mempunyai karakter yang sangat khusus. Mereka merupakan kelompok anak tersendiri, yang lain dari anak lain. Pada masa balita, dokter sering menuding mereka sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan. Baik dari perkembangan fisik, perkembangan psikologis, atau juga gangguan kemampuan bicara, komunikasi, dan sosial. Waktu di kelas-kelas awal sekolah dasar mereka sering disangka mengalami gangguan perkembangan inteligensia, atau kurang cerdas. Bahkan sering tertuding sebagai pembuat onar di kelas, tidak punya konsentrasi, dan sulit diberi pelajaran, tidak mau membuat pekerjaan rumah, serta membangkang. Di kelas sering melamun, tidur di meja, dan lebih senang memainkan pinsilnya, daripada mengikuti pelajaran. Di kelas satu dan dua bahkan mereka sulit diajar membaca, menulis, bahkan berhitung sekalipun. Penampilan mereka tidak seperti anak jenius atau anak berbakat sebagaimana layaknya yang kita bayangkan. Mereka lebih macam anak urakan tapi dungu. Benarkah demikian?
Yang kita ingat, orang yang terbilang jenius adalah Einstein, Michelangello, Thomas Alfa Edison, Rembrant, van Gogh, Bach, dan sebagainya. Lalu jarang kita dengar lagi ada kelompok jenius yang kelasnya bagai mereka. Kemanakah mereka? Tidak pernah lahirkah? Sebenarnya banyak. Dua persen dari anak yang lahir, adalah kelompok jenius. Tetapi mereka hilang ditelan perkembangan kebudayaan yang lebih banyak peraturannya, pendidikan yang seragam, pemeriksaan anak balita yang lebih teliti, yang semuanya mengacu pada norma normal, sehingga mereka tampak sebagai anak tidak normal, bahkan terdiagnosa berbagai macam gangguan perkembangan. Misalnya saja yang dijelaskan oleh kelompok psikolog ahli anak-anak berbakat Amerika dalam pertemuan tahunannya di Washington Agustus tahun lalu, yang menjelaskan bahwa akhir-akhir ini di Amerika terjadi banyak kesalahan diagnosa pada anak-anak maupun dewasa berbakat dan berbakat. Kesalahan ini bukan saja dilakukan oleh psikiater, dokter anak, tetapi juga oleh psikolog sendiri, maupun tenaga kesehatan lainnya. Tersering mereka terdiagnosa sebagai autis asperger, PDDNOS, Attention Deficit Hyperactivity Disoredr (ADHD), Oppotitional Defiant Disorder (OD), Obsessive Compulsive Disorder (OCD), dan Mood Disoreder seperti Cyclothymic Disorder, Dysthymic Disorder, Depression, serta Bi-Polar Disoreder.
Kesalahan diagnosa ini umumnya karena mereka memiliki karakteristik perkembangan sosial dan emosional yang diasumsikan secara keliru oleh kelompok profesional. Sementara itu anak-anak itu adalah anak-anak yang mempunyai risiko psikologik apabila dorongan atau motivasi internalnya yang kuat untuk mengembangkan intelektualnya terhalangi dan tidak tercapai. Risiko ini berupa jatuhnya mereka ke dalam masalah-masalah psikologis seperti depresi yang dalam, perilaku menarik diri, rendah diri yang hebat, atau sebaliknya menjadi anak yang sangat sulit diatur, selalu melawan, dan agresif. Seorang yang ternyata dewasanya jenius namun kecilnya penuh duka lara adalah Alice Miller, yang tahun 1979 mulai menuliskan kisahnya dalam sebuah buku berjudul: Das Drama des begabten Kindes und die Suche nach dem wahren Selbst, Eine Um-und Fortschreibung (Kisah drama seorang anak jenius-dalam mencari jati dirinya).
Duka lara Alice Miller berawal dari diagnosa para profesional yang menyatakan bahwa dirinya menderita dari diagnosa para profesional yang menyatakan bahwa dirinya menderita penyakit jiwa bawaan yang menurut para dokter akan terus diidapnya seumur hidup. Karena itu ia harus menjalankan berbagai terapi yang dimaksudkan untuk mengurangi gangguan itu.
Emosinya yang meledak-ledak segera diredam dengan berbagai tablet psikotropika. Dia juga pada akhirnya mengalami depresi yang berat, rasa malu, dan rendah diri, serta tak mampu lagi bergaul. Pada waktu ia bisa menyelesaikan sekolah psikologinya, ia menyadari bahwa diagnosa yang diterimanya keliru, sehingga ia sibuk melakukan rehabilitasi diri guna menyembuhkan luka dari berbagai terapi semasa kecilnya itu, yang ia rasakan sebagai penganiayaan psikologis.
Buku Alice Miller yang mengharukan, detail, dan memberi pengertian akan artinya bimbingan pada anak-anak jenius ini, laku keras, hingga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda saja sudah dicetak ulang pada tahun 2000 hingga yang ke 23 kalinya. Buku ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia.
Duka lara akibat perkembangan khusus pada anak-anak jenius ini, tampak sejak ia dilahirkan. Ia merupakan bayi yang besar dengan ukuran kepala yang besar, sehingga kebanyakan anak-anak ini lahir bukan dengan cara normal tetapi ditarik dengan tang, vacum, atau melalui pembedahan. Sejak bayi ia mengalami alergi susu yang berat, yang menyebabkan kulitnya penuh eksim, serta alergi berbagai macam dan tidak spesifik. Selain alergi berbagai makanan dan sayuran, ia juga alergi Matahari, cuaca dingin, obat-obatan, plastik, logam, pakaian nilon, dan sebagainya. Alerginya bukan hanya di kulit, bisa berupa mencret dan sembelit, tidak bisa bersendawa, batuk pilek, radang telinga, radang mata, dan asma. Dalam pemeriksaan darah laboratorium sering ditemukan anak-anak ini memiliki berbagai angka laboratorium yang berbeda dengan angka rata-rata anak normal. Terlalu tinggi atau terlalu rendah. Tampak seolah mereka menderita kekurangan berbagai mineral dan vitamin dalam tubuhnya. Banyak di antara mereka yang mengalami gangguan penyerapan makanan, dan kekurangan enzym pencernaan. Mereka juga mempunyai masalah dalam pemilihan jenis makanan yang mereka suka.
Pada saat balita penciuman anak-anak ini belum bekerja baik untuk mencium enaknya bau makanan. Mereka sangat peka dalam penglihatan, dan mempunyai sifat yang sangat perfeksionis. Dalam memilih makanan anak-anak ini hanya memilih satu jenis makanan dengan satu warna yang bagus dan bentuk yang bagus. Karena itu sebagian anak-anak ini berbadan terlalu kurus dengan kepala dan jidat yang besar, atau berbadan besar. Meski hanya makan dengan jumlah yang sedikit dan hanya itu-itu saja, kecuali soal alergi, boleh dikata mereka anak yang tampak sangat sehat, tidak mudah jatuh sakit, dan bergerak terus tidak capai-capainya.
Anak-anak ini mempunyai kemauan internal yang sangat kuat, keras kepala, tetapi tidak tahan rutinitas. Dan usia SD kelas satu atau kelas dua, yang menonjol justru keras kepala dan motivasi internalnya yang besar. Dengan begitu mereka tidak tertarik mengikuti kegiatan belajar di sekolah yang melelahkan karena terlalu rutin. Melihat hal ini guru seringkali menuding mereka sebagai anak yang tidak cerdas. Terlebih anak ini tidak mau mengulang kebolehannya, dan tidak bisa disuruh menunjukkan kebolehannya. Banyak di antara orangtua yang bercerita bahwa anaknya bisa membaca dan berhitung, tetapi jika diuji di sekolah si anak bungkam. Mereka adalah anak yang didaktif, bukan anak yang deduktif. Kemampuan pengembangan intelektualnya adalah atas dasar motivasi internalnya, dan tidak bisa diajari, atau tidak mau diajari.
Sifat perfeksionis menyebabkan mereka tidak mau mengerjakan tugas memberi warna pada figur-figur dengan potlot berwarna. Mereka merasa hasil pekerjaannya sangat jelek, tidak seindah contohnya yang dibuat oleh percetakan. Perkembangan motorik halus mereka juga mengalami keterlambatan sehingga mereka bagai tidak kuat memegang pinsil barang semenit pun. Jari-jari mereka cepat lelah, dan hasil latihan menulisnya sungguh sangat jelek. Mencong-mencong, tidak lurus, dan bergelombang. Melihat hasil ini semua, lagi-lagi sifat perfeksionis mereka menyebabkan mereka frustrasi. Banyak di antara anak-anak ini juga mengalami disleksia, yaitu gangguan perkembangan syaraf dan bola mata. Seringkali anak-anak ini memerlukan koreksi karena matanya astigmatis. Disleksia menyebabkannya melihat huruf terbalik-balik, dia bingung mana yang p dan mana yang q, atau mana yang d dan mana yang b. Disleksianya menyebabkan ia tidak mengerti lagi harus menulis dari sebelah kiri atau kanan, akhirnya ia mengalami gangguan menulis, membaca, dan juga berhitung. Lengkaplah penderitaannya, jika ia dituntut bagai anak normal. Apalagi jika dijatuhi mempunyai vonis bahwa ia mempunyai kemampuan atau kecerdasan di bawah rata-rata. Dan lebih ironis lagi, jika setiap sore dia dituntut oleh orangtua untuk mengambil les menulis dan berhitung, serta di rumah dipaksa belajar setengah mati. (by)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar